Desperately seeking my path

Sebagai seorang sarjana baru (well, ga baru2 amat ding, hampir setahun nih lulus), saya menghadapi pula hal yg sering kali menghinggapi para lulusan baru. Dg angka lulusan perguruan tinggi yg meningkat, bisa dipastikan angka angkatan kerja pun meningkat. Tpi, hal ini seringkali tidak dibarengi dg meningkatnya pula lowongan kerja. Alhasil, angka pengangguran (sementara, to be optimist) pun meningkat. Banyak lulusan baru yg menghadapi ini, meski banyak pula yg cukup beruntung untuk segera mencicipi bangku kerja.

Ketika baru lulus atau akan lulus, saya hanya punya gambaran kasar cenderung idealis untuk masa depan. Jujur, saya tidak menyangka bisa lulus bulan oktober tahun lalu. Yes, tahun lalu, saya sebenarnya masih menggebu-gebu untuk kuliah. Apalgi kemudian, skripsi saya hampir tiba di jalan buntu. Saya pun tidak tahu harus menulis apa sebagai konklusi skripsi saya. Apa skripsi saya sudah mencapai tujuannya? I don’t have any idea. Di tengah-tengah penulisan skripsi, saya ditawari ikut penelitian yang waktu itu katanya akan diadakan di desa dan kota, di empat provinsi di Indonesia. Dg iming2 bisa sampai di Papua, Aceh atau NTT, saya pun membulatkan tekad (tentu setelah minta wangsit pada keluarga) untuk ikut seleksi. Akhirnya, saya pun lolos seleksi dan menjadi salah satu asisten peneliti pada proyek itu. Tapi entah mengapa, saya ditempatkan di Jawa Tengah, di Solo --- so very close from my city. Meski pudar mimpi pergi keluar pulau, saya tetap berangkat ----- dg meninggalkan skripsi yg belum selesai. Tahu saya masih ada di dekat Jogja, dosen pembimbing skripsi saya tetap mengharapkan saya “nyambi” skripsi (atw nyambi meneliti). Hehe, akhirnya malah di akhir2 masa penelitian pun sy bolak-balik Jogja untuk menyelesaikan skripsi saya itu. Parahnya (atau untungnya), saya malah dijadwal ujian pendadaran bulan itu juga. 

Pusing. Penelitian belum rampung, masih ngejar responden, tapi saya disuruh cepat2 ujian. Akhirnya, saya jadi nyambi cari data, sementara tiap malam merenungi laptop pinjaman untuk merampungkan skripsi. Dan berbekal modal nekat, saya selesaikan edit-an akhir draf skripsi saya, berangkat ke Jogja untuk daftar pendadaran. Setelah melalui sedikit adegan dramatis (dibilang ga boleh ujian oleh sekretaris jurusan krn belum ambil mata kuliah dosen pembimbing akademik yg padahal tidak wajib), saya lolos juga. Dapat juga jadwal ujian. Daftar Senin, ujian hari Jumat. Mampus, kata saya. Tapi saya iyakan juga karena menurut jadwal, saya sudah bisa pulang dri penelitian Kamis atau Jumat. Nekat.

Akhirnya saya lulus juga. Dg nilai memuaskan (entah memuaskan siapa).  I was happy then, but now I am not that happy.

Citacita saya setelah lulus S1 adalah melanjutkan sekolah. Sedikit banyak dipengaruhi oleh keinginan ibu saya yang dlu ingin sekolah tinggi, tapi berhenti di S1. Ya saya memang pengen sekolah lagi. Saya masih pengen duduk di bangku kuliah. Tapi saya harus cari modal dlu untuk itu. Maka pilihannya adalah cari beasiswa. Sampe sekarang pun saya masih cri2 beasiswa. Minat studi saya sejak S1 masih membara sampai skrg. Dan ini yg jadi kacamata kuda yg mulai bikin saya capek, dan krg semangat menjalani kerjaan yg skrg sedang saya lakukan. Pilihannya adalah menjadi realistis atau idealis. Untuk hal ini, saya enggan memilih, saya pilih di tengah2 saja.

Maka, saya jalani saja skrg: penelitian yg katanya bagian dri program capacity building peneliti sosial di bidang HIV. Hehe. Saya memang ingin jadi peneliti kok. Peneliti sosial. Toh antropologi juga bagian dri itu kan? Saya juga minat dg HIV dan kesehatan reproduksi. Apalgi proyek skrg, masih bertopik gender.  tapi kok lama-lama (terutama setelah ikut kelas partner saya, di kesehatan masyarakat) kok saya jadi canggung? Saya jadi sedikit tidak nyaman. Sya berasa ngawang2. 

Saya masih menyimpan minat di isu media dan gender (dan mgkin suatu kali bisa nyambung2in ke kesehatan --- hehe). Semoga saja, doa saya dikabulkan. Semoga usaha saya berbuah hasil. Semoga saja, nanti saya mendapat jalan. Coz I am desperately seeking my path now! (pinjem bahasanya Ien Ang). 

Yes, sometimes we have to turn around just to find your dream path…

Comments

Popular posts from this blog

Blue Valentine - a movie about love that doesn't work

Pojangmacha: Korean angkringan

haruskah ak diruwat?